Media-koentji.site. Rabu, 14 Agustus 2019. Masjid Jendral Sudirman – Yogyakarta. Malam kali ini Dr. Fahruddin Faiz membawakan tema tokoh-tokoh muda. Kali ini tokohnya adalah Ahmad Wahib, tokoh ini adalah mahasiswa UGM dan seorang pemikir dan masuk ke dalam grup terbatas Diskusi dengan tokoh Mukti Ali. Tidak menyelesaikan studi di UGM namun pergi ke Jakarta. Sembari bekerja di sebuah media massa Wahib juga kuliah di STF Sadra. Sore hari, naas Wahib meninggal tertabrak motor pada usia 31 tahun. Wahib di sini dikenal sebagai seorang pencari sejati tentang Ilmu apapun.
Karya dan catatan harian Wahib penuh dengan semangat pembaruan pemikiran. Pergolakan pemikiran Islam judul tepatnya. Diawali dengan mengenal dan menegaskan identitas terlebih dahulu sebelum semuanya. Siapakah aku?:
"Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan... Aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakaratul maut!”“Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”
Pikiran ini memahami diri kita sebagai orang yang berproses sampai titik akhir, yaitu kematian. Kita yang telah membaca pengetahuan yang sosialis, marxsis, ataupun pluralis, di saat ini memang kita yang belum seutuhnya. Dalam berproses dan membaca dan membuka diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih baik. Dari sini kita tidak berhenti pada saat ini kita “menjadi”. Masih ada esok agar berproses menjadi lebih baik lagi.
Apakah kita cukup berani untuk mengetahui banyak hal? Jangan-jangan kita masih penakut sebagai intelektual. Masih ada khawatir kalau-kalau tahu tentang pikiran komunis, kita menjadi komunis, tahu tentang pikiran atheis, kita menjadi anti agama. Lemah. Begini kata Wahib:
“Membaca, membaca dan teruslah membaca. Terserah apa itu buku, majalah, alam, masyarakat dan... manusia. Aku membaca bukan hanya untuk tahu. Aku juga ingin bahwa apa yang kubaca itu ikut membentuk sebagian dari pandanganku. Karena itu aku mencerna, memeras dengan modal intelektualitas dan kepribadianku yang sudah ada, agar dengan demikian kepribadianku menjadi lebih kaya dengan intelektualitas yang tersedia dan dalam pergulatannya dengan situasi. Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikkan.”
Lebih jelasnya silahkan lihat di sini
Komentar
Posting Komentar