
Teori Iluminasi Menurut Ibnu Arabi
Oleh Dr. Fahruddin Faiz
Penjelasan sebelum ini yaitu tentang pengantar iluminasi, bahwa pengertian atau definisi iluminasi adalah pencerahan/pencahayaan. Pengertian terminologinya adalah paham tentang “pencerahan” langsung dari Tuhan ke dalam diri manusia. Hal ini, sekarang kita akan membahas teori illuminasi menurut Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi.
Serajah singkat tentang Ibnu Arabi. Nama lengkapnya ialah 'Abū 'Abdillāh Muḥammad ibn 'Alī ibn Muḥammad ibn `Arabī Al-Tha’i al-Hatimi. Lahir di Murcia-Andalusia pada 17 Ramadan 561 H (27/ 28 Juli 1165 AD). Dikenal dengan nama al-Shaykh al-Akbar, Muḥyiddin ibn Arabi. Selain sebagai filsuf sufi, Ibnu 'Araby juga dikenal sebagai ahli tafsir, hadist, fiqh, sastra dan filsafat, bahkan astrolog dan kosmolog. Dalam bidang tasawuf, beliau mendapat didikan dari 55 orang syeikh. Beliau abadikan nama dan biografi mereka dalam kitabnya yang berjudul al-Durrah al-Fakhirah Fi Dhikr Ma lntafa’tu Bihi Fi Tariq al-Akhirah.
TIGA MODE PENGETAHUAN IBNU ARABI
Pertama; Pengetahuan intelektual (‘Ilm al-Aql) Investigatif demonstratif dan empiris rasional.
Kedua; Pengetahuan kesadaran akan keadaan-keadaan batin (Ahwal) Rasa, Intuisi, Penyaksian batin. Misalnya rasa manis madu atau pahitnya sari cendana.
Ketiga; Pengetahuan tentang yang gaib (‘ilm al-asrar) tergantung pada pencerahan yang bersumber dari cahaya Ilahiah ke dalam pikiran. Pengetahuan model ini hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai maqam tertinggi seperti para Nabi ataupun orang-orang suci (insan kamil).
WUJUD HANYA ADA SATU
Kata wujûd terutama dan lebih khusus digunakan oleh Ibn al-‘Arabi untuk menyebut wujud Tuhan. Sebagaimana telah disebut di atas, satu-satu wujud adalah wujud Tuhan; tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini artinya, apa pun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. Secara logis dapat diambil kesimpulan, kata wujûd tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (mâ siwâ Allâh), alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Namun demikian, Syekh memakai pula kata wujud untuk menunjukkan segala selain Tuhan. tetapi ia menggunakannya dalam makna metaforis untuk tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Sebagaimana cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Hubungan antara Tuhan dan alam sering digambarkannya dengan hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah “milik” alam. Karena itu, Ibn al-‘Arabi mengatakan bahwa wujud adalah cahaya, dan ‘adam adalah kegelapan.
WAHDATUL WUJUD
Hanya ada satu Realitas. Realitas ini kita pandang dari dua sudut yang berbeda. Ketika kita menganggapnya sebagai Esensi dari semua fenomena, Realitas itu kita namai al-Haqq (the Real). Sementara, ketika kita memandangnya sebagai fenomena yang termanifestasi dari Esensi tersebut, kita menyebutnya al-khalq. Al-Haqq dan al-khalq, Realitas dan Penampakan, Yang Satu dan Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari Realitas Tunggal. Dilihat dari satu aspek, Allah adalah satu, tetapi dilihat dari aspek lain Dia adalah semuanya (kull) yang mengandung keanekaan.
3 MARTABAT ALLAH
Pertama: Martabat Ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui. Di level ini satu-satunya jalan untuk memahami Tuhan adalah Teologi Negatif.
Kedua: Wahidiyah. Penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Di level ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, dengan Sifat dan Nama yang Mahasempurna (al-asma al-husna, Allah). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Ketiga: Tajalli Syuhudi. Disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Penjelasan Lebih detial oleh Dr. Fahruddin Faiz. Silahkan cermati bawah ini
Komentar
Posting Komentar