Langsung ke konten utama

Nafisah – Wujud Lain (Realitas Dunia ini Hanya Mimpi)



Saat saya menjala ikan di pinggiran sungai, tiba-tiba saya terpeleset jatuh ke sungai dan terhanyut. Setelah itu saya tidak ingat apa
pun lagi, hingga tersadar di suatu tempat yang hangat dengan selimut. Seorang pria dan wanita paruh baya duduk di dekat saya. Mereka memandangi saya dan yang pria berkata,"Nak.. kamu sudah sadar ?"

"Ada di manakah saya ?" tanya saya.

"Kamu ada di rumah saya," ujar pria itu, "tadi kamu hanyut di sungai. anak saya menolong kamu dan membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

"Di manakah putra bapak sekarang ? Saya ingin berterima kasih kepada putra bapak yang telah menyelamatkan saya." mata saya mengitari ruangan untuk mencari sosok orang yang telah menyelamatkan saya.

Pria itu tersenyum dan berkata, "bukan putra kami, tapi putri kami. Namanya Nafisah. Dia sedang mengantar makanan ke rumah bibinya. Sebentar lagi juga pulang."

Owh.. tidak disangka, penyelamat saya adalah seorang perempuan.

Beberapa saat kemudian, Nafisah bersama kedua adiknya datang. Setelah mematikan obor, mereka mencuci kaki dan masuk ke dalam rumah. Sorot mata Nafisah langsung tertuju pada saya, "Sudah sadar dia, Mak ?"

Perempuan yang dipanggil Emak itu menjawab, "Ya.. sudah sadar. cepat kamu ambilkan air hangat dan nasi. dia harus makan." Lalu wajahnya berpaling ke arah saya dan berkata, "O. iya.. nama kamu siapa ?"

Saya termenung.. siapa nama saya. Mengapa saya tidak dapat mengingat nama saya. Saya ingat bahwa tadi saya sedang menjala ikan, tapi saya tidak ingat saya datang dari mana, mesti pulang ke mana, siapa orang tua saya, siapa teman-teman saya, dan siapa nama saya. Bingung dan bibir saya bergetar, "Saya..tidak tahu.. saya tidak ingat, siapa nama saya."

"Sepertinya, dia lupa ingatan, Mak !" ujar Nafisah sambil menyodorkan segelas air hangat dan sepiring nasi dengan lauk-pauknya.

Ayahnya Nafisah berkata, "Sudah.. kalau kamu tidak ingat nama kamu, saya kasih kamu nama Andika. Sementara sebelum kamu ingat di mana rumah kamu, kamu boleh tinggal di sini, di rumah Abah."

"Terima kasih Abah...Emak.. tapi saya khawatir merepotkan." jawab saya.

Abah berkata, "Oh .. tidak. Kamu tinggal di sini tidak gratis. Kamu bisa membayar semuanya dengan cara bekerja, membantu Abah mengolah sawah dan ladang."

"Baik Abah.. terima kasih atas kebaikan Abah sekeluarga. Nafisah.. terima kasih telah menolong saya." demikian saya katakan.

Hari demi hari saya lalui bersama keluarga Abah Sadeli dengan riang dan gembira. Saya sudah menganggap Nafisah dan kedua adiknya, Fadlan dan Halimah sebagai adik-adik saya sendiri. Kasih sayang Abah dan Emak kepada saya seperti kasih sayang mereka kepada anak-anaknya sendiri. Tidak pernah sekalipun dari mereka menunjukkan wajah tidak suka terhadap saya. Suka duka dalam bekerja, telah kami lalui bersama-sama.

Suatu malam, saya termenung merenungkan tentang diri, "Kapan saya akan ingat tentang jati diri saya. Mengapa setelah setahun lebih saya tidak juga kunjung ingat tentang siapa diri saya. Akankah selamanya saya bersama keluarga Abah Sadeli?" Saya berpikir bahwa saya harus pergi meninggalkan keluarga itu, dan saya akan berkelana. Barangkali di tempat yang jauh saya akan bertemu dengan orang tua serta karib kerabat saya yang bisa mengenali dan membuat saya ingat tentang siapa diri saya.

Kebetulan, semua orang yang berkumpul di bale rumah. Saya bergabung bersama mereka. Lalu saya utarakan isi hati saya, "Abah.. Emak.. saya mohon ijin, besok saya akan pergi ke tempat yang jauh.. dengan harapan.. saya akan tahu siapa jati diri saya."

Sejenak mereka terdiam. Kemudian Abah berkata, "Kamu mau pergi ke mana, nak ? Alih-alih kamu menemukan kampung halamanmu, bisa jadi malah semakin jauh dari tempat asalmu. Kita sudah mencari tahu tentang dirimu ke kampung-kampung terdekat, namun tidak ada yang mengenali kamu."
Giliran saya terdiam. Benar juga yang dikatakan Abah. Saya tidak tahu, ke mana saya harus pergi. Tapi saya tidak dapat diam saja menunggu mukjizat, saya harus berusaha untuk mencari tahu. "Maaf Abah .. Emak..saya mohon ijin Abah dan Emak..jugak Nafisah dan adik-adik."

"Kang.. masa sih Akang tega meninggalkan kami.. " ujar Nafisah.

"Maaf Nafi..saya selalu senang bersama kalian. Tapi kalau merenungkan tentang diri saya sendiri, saya merasa sedih dan bingung. saya ingin tahu jati diri saya sendiri."

Nafisah terdiam. tapi air matanya tidak diam, melainkan menjelaskan pada saya bahwa dia sangat bersedih bila saya pergi jauh. Terlebih lagi, Nafisah langsung masuk ke dalam rumah untuk menyembunyikan kesedihannya. Halimah dan Fadlan memegangi tangan saya. Mereka tidak berkata apapun, tapi tatapan mereka menunjukan bahwa mereka tidak ingin saya pergi. Saya jadi bingung.

Abah berkata, "Tadinya Abah ingin menikahkan kamu dengan Nafisah.. kamu malah ingin pergi. Kamu pertimbangkanlah lagi niatmu itu."

Saya tertegun... tidak disangka Abah akan berkata demikian. Saya merenungkan semuanya sepanjang malam, menimbang-nimbang, apakah saya akan tetap tinggal atau harus pergi. Nafisah cantik dan saya menyukainya. Hanya sejauh ini saya tidak berani berpikir lebih, selain menganggapnya sebagai adik. Tidak menyangka sama sekali bila Nafisah dan orang tuanya mengharapkan lebih dari sekedar persaudaraan. Pikiran saya kalut, tidak tahu mana yang baik dan mana yang benar, bahkan saya tidak tahu mana pilihan yang dapat membuat hati saya senang.

Belum memutuskan untuk pergi, saya juga belum memutuskan untuk tinggal. Hati saya masih bimbang dan menimbang. Sementara itu saya menjalani hari-hari seperti biasa, ke ladang dan ke sawah untuk membantu keluarga Abah Sadeli bercocok tanam serta memelihara ternak.

Seiring berjalannya waktu, saya dapat melihat Nafisah lebih dari sekedar adik. Gerak geriknya, tutur kataknya, lincah manjanya mulai sering mengganggu pikiran saya. Bila dia didekat saya, hati terasa senang. Bila dia jauh, hati terasa gelisah. Tidak salah lagi, saya sudah jatuh cinta padanya.

Senang sama senang. Cinta sama cinta. Akrhinya kamipun menikah. Kami merasa bahagia. Namun di malam pertama setelah kami menikah, sesuatu terjadi ketika saya menyentuh tubuh Nafisah. Saya teringat, siapa diri saya sebenarnya dan dari mana berasal.

Saya tertegun, pikiran saya terbang jauh ketika Nafisah dalam dekapan. Perlahan saya lepaskan dekapan, mengambil jarak darinya dan duduk di atas ranjang sambil memegangi kepala saya dengan kedua tangan saya.

Nafisah heran melihat keadaan saya lalu dia bertanya, "Apa yang terjadi, kang ?"

Saya menjawab, "Nafisah.. saya pikir saya adalah seorang perjaka. Namun saat saya menyentuhmu, di situ saya teringat bahwa rasanya bukan baru kali ini saya bersentuhan dengan wanita. Nafisah.. sekarang saya ingat, siapa diri saya. Nama saya, bukan Andika, tapi Asep. Dan saya sudah memiliki istri dan seorang anak berusia 3 tahun."

Nafisah terdiam. Sorot matanya tampak penuh dengan kegelisahan. Dengan ragu dia berkata, "Apakah akang akan meninggalkan saya ? Siapakah nama istri dan anak akang ? di mana dia tinggal ?"

Saya menjawab, "Kita harus berpisah, Nafisah. Nama istri saya adalah Santi. Anak saya namanya Yoga. dia masih kecil. Mereka tidak tinggal di manapun di negeri ini. Mereka ada di alam lain."

"Alam lain ? alam mana itu ? saya tidak mengerti." Nafisah heran.

"Iya Nafisah.. saya sadar bahwa kita sekarang ini tidak ada di dalam nyata. anak dan istri saya, mereka ada di dalam nyata." demikian saya katakan.

Nafisah masih belum mengerti. Dia berkata, "Jika kita tidak di alam nyata, berarti apakah kita berdua ini hanyalah khayalan ? siapa yang berkhayal, saya atau kamu ?"

Saya menjelaskan. "Kamu ada di dalam mimpiku, Naf.. aku sedang bermimpi. Lihat bintang-bintang di langit itu, rumah ini, wajahmu yang cantik, dan kamar yang kita hias dengan indah ini, semua ini tercipta dari pikiranku dalam mimpiku."
"Apakah Akang itu Tuhan, bisa menciptakan bintang-bintang dilangit bahwa bisa menciptakan saya dengan pikiran Akang ?" tanya Nafisah.

Saya menjawab, "Saya bukan Tuhan. Tapi Tuhan telah memberi saya pikiran yang mampu untuk bermpimpi dan berkhayal. Sebenarnya tidak ada yang nyata kecuali Tuhan. Yang aku sebut alam nyata itu pun sebenarnya hanyalah mimpi Tuhan."

"Jika saya adalah mimpi Akang, apakah saya akan musnah pada saat Akang terbangun dari mimpi nanti ?" tanya Nafisah.

"Tidak.. kamu akan tetap ada di alam pikiran saya." jawab saya.

"Saya pikir, inilah yang sesungguhnya alam nyata. Tentang istrimu yang bernama Santi dan anakmu yang bernama Yoga, itu adalah mimpi kamu, khayalan kamu. Sayalah kenyataan bagimu, Kang." ujar Nafisah.

"Saya tidak akan dapat hidup bahagia, bila tidak menuaikan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban saya. Kewajiban adalah hutang yang harus dibayar. Saya harus bangun, kembali ke alam nyata untuk memenuhi kewajiban-kewajiban saya terhadap anak dan istri." demikian saya katakan.

Nafisah berkata, "Tapi Akang juga memiliki kewajiban yang belum ditunaikan terhadap saya. Mengapa Akang tidak menunaikannya ? bukankah itu juga sama, hutang yang harus dibayar ?"

Saya berkata,"Saya akan kembali ke sini, untuk menunaikan kewajiban saya terhadap kamu, Naf. Saya akan tidur diranjang ini, dan terjaga di alam nyata. jaga dan rawatlah jasad saya. Saat saya telah selesai menunaikan kewajiban-kewajiban saya di alam nyata, saya akan terbangun kembali di sini. Alam nyata kelak, hanya akan tinggal kenangan, seperti halnya mimpi. Sebenarnya, kemanapun kita pergi, apapun yang kita lihat, semua itu hanyalah mimpi. Kita mati di alam ini, berarti bangun dari mimpi. Namun kita mimpi ada di alam lain. Begitu seterusnya. Hingga bila semua mimpi telah usai, kita tidak akan dapat melihat sesuatu apapun, kecuali Tuhan."

Saya terbangun dari tidur. Namun bayang-bayang Nafisah masih mengikuti. Seolah dia masih berdiri di hadapan saya. "Astagfirullahal adzim. Ya Allah aku berlindung kepada mu dari perbuatan syaitan yang terkutuk dan dari kejelekan amal perbuatanku sendiri." Orang tua bilang, bila kita mimpi menikah, itu pertanda bahwa kita akan jatuh sakit. Bahkan bila kita tidak tahu nama pengantin perempuannya, pertanda bahwa kita akan segera meninggal. Apakah sekarang saya akan jatuh sakit ? Wallahu `alam. Semoga Allah selalu memberiku kesehatan jasmani dan rohani. Amin ya Allah ya Rabbal alamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Download File Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz

Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag Channel YouTube:  Media Koenjti https://www.youtube.com/c/miftahkoentji Caranya: 1. tekan tombol Ctrl dan klik setiap judul yang ada di bawah ini 2. selanjutnya akan mengarah ke browser pada /pc anda 3. klik download untuk mendapatkan file WinRar 4. jika ada password-nya ialah: “ mediakoentji ” Pengantar Filsafat Pengenalan Epistemologi Epistemologi Teori Kebenaran Skeptisisme Common Sense Epistemologi Sosial Logika Logika II Logika III Hermeneutika Hermeneutika II Ontologi Materialisme Materialisme Historis Idealisme Dualisme Idealisme II Pluralisme Etika Sistem-sistem Etika Egoisme-Altruisme Etika Nikomanea Aristoteles Religious Ethic Ghazali Etika Situasi Dasar-dasar Estetika Teori-teori Estetika Estetika dan Agama Romantisisme Romantisisme II Eksistensialisme Søren Kierkegaard Eksistensialisme Friedrich Nietzsche Eksistensialisme Jean Paul Sartre (No Record) Eksistensialis

Free Download Kitab-Kitab Ulama Nusantara

KH. Hasyim Asy'ari PDF FREE DOWNLOAD Koleksi Kitab-kitab Ulama Haramain dan Nusantara KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri Siyar wa Tarajim Imta’u Fudlala Nastr al-Jawahir al-A’lam Zirikli Rihlah Ibnu Batutah Faidl Malik Wahhab A’lam al-Makkiyin dan puluhan kitab lainnya UNDUHFILE-NYA DI SINI

Falsafah Hidup: Filsafat Pernikahan

FILSAFAT PERNIKAHAN Disarikan dari Ngaji Filsafat yang diampu oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Rabu, 31 Juli 2019. Fahruddin Faiz malam ini membahas tema terakhir dari tema Falsafah Kehidupan, yaitu filsafat pernikahan. Di awal membahas bagaimana Islam memberikan status hukum tentang pernikahan atau nikah. Ada lima madzhab yang masyhur atau terkenal memberikan status hukum tentang nikah yaitu: Wajib. Wajib bagi setiap muslim untuk menikah, hukum ini menurut Daud Adz-Dzahiri. Sunnah, bahwa menikah itu sunnah artinya boleh dan mendapat pahala atau ganjaran. Hal ini menurut tiga madzhab yaitu, maliki, Hambali, Hanafi. Mubah. Bahwa menikah itu hukumnya mubah atau boleh saja, sama seperti hukum makan dan minum. Maka jangan heran jika ada beberapa ulama atau ilmuan memilih tidak menikah karena fokus belajar dan menikmati proses mendapatkan ilmu. Dalam kondisi tertentu hukum menikah itu makruh, seperti seseorang yang tidak tahan untuk menyalurkan hubungan biolo