Langsung ke konten utama

Definisi Dalam Syllogisme



Definisi Dalam Syllogisme
Oleh: Kang Asep

Sebuah syllogisme adallah susunan proposisi-proposisi yang memiliki nilai benar-salah. Jumlah mesti terdiri dari tiga term dan tiga proposisi, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika salah satu proposisinya diganti dengan definisi, maka tidak lagi memenuhi syarat sebagai syllogisme, walaupun darinya dapat ditarik sebuah kesimpulan yang benar.

Dalam materi tentang [Fallacy of Four Term] dibahas tentang susun-pikiran yang terdiri dari empat term dengan bentuk umum sebagai berikut.

A -> Bx
x -> C
-----------
A ->BC

Penggunaan empat term seperti ini jelas melanggar hukum azas syllogisme, sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai syllogisme, kesimpulannya tidak dapat dinyatakan logis. Bahkan pola seperti itu berpotensi menimulkan kekeliruan dalam berpikir, kecuali bila proposisi kedua itu merupakan definisi, sehingga bentuk susun-pikirannya sebagai berikut.

A->Bx
x = C
--------
A -> BC

Walaupun pola yang demikian dapat dijamin dari kesalahan, namun itu tidak dapat disebut syllogisme. Karena azasnya, selain dari mesti terdiri dari tiga term, juga terdiri dari tiga proposisi. Sedangkan dalam pola di atas, hanya ada dua term dan satu proposisi. Karena definisi bukanlah proposisi.

Contoh :
-----------------
Dalam surah At-Thalaq, 65:10-11 Allah menyebut Rasulullah saw dengan -ad-Dzikra. "Allah telah menurunkan kepada kalian ad dzikra, yaitu utusan yang membacakan bagimu ayat-ayat Allah yang mengeluarkan orang-orang beriman dan orang-orang shaleh dari kegelapan kepada cahaya."

Dan kemudian Rasulullah saw bersabda,"Ad Dzikra itu aku"(1)

Dari ayat al Quran dan hadis di atas, saya ambil sebuah proposisi : "Rasulullah saw adalah ad Dzikra".

Lalu, apakah setiap ad - Dzikra itu rasulullah saw ? Saya tidak menemukan ada pribadi lain yang Allah dan RasulNya menyebutnya sebagai ad -Dzikra, maka saya dapat menetapkan suatu keyakinan bahwa benar tidak ada ad - Dzikra, kecuali Rasulullah saw. Itu berarti Rasulullah saw = ad Dzikra. Lalu bagaimana dengan keluarga Rasulullah saw ? Berarti keluarga Rasulullah saw adalah keluarga adz Dzikra. Polanya seperti berikut.

Fatimah adalah keluarga Rasulullah
Rasulullah adalah ad Dzikra
Jadi, Fatimah adalah keluarga ad Dzikra.

Itu tampak sebagai syllogisme, tapi bukan. Karena pernyataan yang kedua adalah definisi yang mendefinikan salah satu variabel dalam predikat proposisi pertama. Pernyataan kedua dan ketiga sebetulnya itu kandungan dari proposisi pertama. Bandingkan dengan susun-pikiran berikut.

Fatimah adalah [keluarga nabi saw yang disucikan]
setiap [keluarga nabi saw yang disucikan] adalah ahlul bait nabi saw.
jadi, Fatimah adalah ahlul bait nabi saw.

Pertanyannya, apakah setiap ahlul bait nabi saw itu disucikan? adakah ahlul bait nabi saw yang tidak disucikan ? jika "ada", maka proposisi kedua itu bukanlah definisi. dan susun pikiran tersebut memenuhi syarat sebagai syllogisme. Tapi bila tidak satupun ahlul bait nabi yang tidak disucikan, berarti susun-pikiran di atas bukanlah syllogisme, karena pernyataan yang kedua merupakan definisi.

Dari bentuknya, kalimat proposisi dan definisi tidak dapat dibedakan, kecuali ditulis dalam notasi seperti "A = B". Sedangkan bila menggunakan kalimat seperti "Setiap A adalah B", maka untuk mengetahuianya sebagai definisi harus diuji dengan membalikan tern-ternnya, "Apakah setiap B adalah A?" jika ya, berarti itu definisi.

Berikut ini contoh lain definisi dalam syllogisme.

Allah berfirman,"Bertanyalah kalian kepada Ahli Dzikra, bila kalian tidak mengetahui"(2)

Kita diperintahkan untuk bertanya kepada ahli Dzikir. Jika adz-Dzikir ekuivalen dengan "Rasulullah saw", maka apakah dapat kita simpulkan bahwa kita diperintahkan untuk bertanya kepada "Ahli bait Rasulullah saw" ?
________________
1) Ta`wil al ayat Al Zhahirah. Hal. 259 ; Abu Zahra - Aqidah Islam - hal. 237
2). Surah An Nahl : 43

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Download File Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz

Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag Channel YouTube:  Media Koenjti https://www.youtube.com/c/miftahkoentji Caranya: 1. tekan tombol Ctrl dan klik setiap judul yang ada di bawah ini 2. selanjutnya akan mengarah ke browser pada /pc anda 3. klik download untuk mendapatkan file WinRar 4. jika ada password-nya ialah: “ mediakoentji ” Pengantar Filsafat Pengenalan Epistemologi Epistemologi Teori Kebenaran Skeptisisme Common Sense Epistemologi Sosial Logika Logika II Logika III Hermeneutika Hermeneutika II Ontologi Materialisme Materialisme Historis Idealisme Dualisme Idealisme II Pluralisme Etika Sistem-sistem Etika Egoisme-Altruisme Etika Nikomanea Aristoteles Religious Ethic Ghazali Etika Situasi Dasar-dasar Estetika Teori-teori Estetika Estetika dan Agama Romantisisme Romantisisme II Eksistensialisme Søren Kierkegaard Eksistensialisme Friedrich Nietzsche Eksistensialisme Jean Paul Sartre (No Record) Eksistensi...

Filsafat Cinta Jalaluddin Rumi

FILSAFAT CINTA DALAM JALALUDDIN RUMI Oleh: Dr. Fahruddin Faiz Membicarakan cinta tidak akan ada habisnya, walau zaman telah berubah, waktu telah menjauh ke depan. Cinta memang akan selalu indah pada setiap orang yang sedang dirundung cinta. Cinta itu memiliki nilai universal, aritnya siapa pun di belahan bumi ini akan mengakui cinta itu indah, sebagaimana semua orang menerima kebenaran satu ditambah satu sama dengan dua. Namun, cinta yang abadi itu seperti apa? Cinta yang memiliki nilai transendental – nilai ketuhanan. Dr. Fahruddin Faiz kali ini membahas Filsafat Cinta dalam sudut pandang Syekh Jalaluddin Rumi sang ulama sufi besar dengan karya-karya atau bait-bait cintanya kepada Allah Swt. Syekh Jalaluddin Rumi senang sekali ketika ia akan menemui ajalnya, sampai-sampai muridnya yang menangisi jika sang guru akan pergi meninggal dunia dimarahi Rumi. “kenapa kalian menangisi aku yang akan bertemu dengan kekasih sejatiku?”, “ayo menarilah kalian, bergembiralah, tab...

Falsafah Hidup: Filsafat Pernikahan

FILSAFAT PERNIKAHAN Disarikan dari Ngaji Filsafat yang diampu oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Rabu, 31 Juli 2019. Fahruddin Faiz malam ini membahas tema terakhir dari tema Falsafah Kehidupan, yaitu filsafat pernikahan. Di awal membahas bagaimana Islam memberikan status hukum tentang pernikahan atau nikah. Ada lima madzhab yang masyhur atau terkenal memberikan status hukum tentang nikah yaitu: Wajib. Wajib bagi setiap muslim untuk menikah, hukum ini menurut Daud Adz-Dzahiri. Sunnah, bahwa menikah itu sunnah artinya boleh dan mendapat pahala atau ganjaran. Hal ini menurut tiga madzhab yaitu, maliki, Hambali, Hanafi. Mubah. Bahwa menikah itu hukumnya mubah atau boleh saja, sama seperti hukum makan dan minum. Maka jangan heran jika ada beberapa ulama atau ilmuan memilih tidak menikah karena fokus belajar dan menikmati proses mendapatkan ilmu. Dalam kondisi tertentu hukum menikah itu makruh, seperti seseorang yang tidak tahan untuk menyalurkan hubungan biolo...